Saya tinggal di Sydney, Australia, sejak September 2008. Sebelumnya saya tinggal di Jakarta, Indonesia, sejak 1979. Membandingkan lalu lintas di Sydney dengan Jakarta seperti membandingkan tentara berbaris dengan anak TK berbaris. Yang satu tertib, yang satu lagi berantakan.
Di Sydney, jalanan dikelola Roads and Traffic Authority (RTA) New South Wales (NSW). State lain (Victoria, Queensland, dll) dikelola RTA-nya sendiri. Urusan lampu merah, tanda dilarang parkir, dilarang berhenti, dan rambu-rambu lainnya merupakan tanggung jawab RTA (http://www.rta.nsw.gov.au). Speed camera dan traffic light camera juga punya RTA. Soal registrasi kendaraan bermotor juga tanggung jawab RTA. Penanggung jawab lisensi mengemudi (driving license alias Surat Izin Mengemudi/SIM di Indonesia) juga RTA. Kantor RTA untuk pelayanan publik di wilayah Sydney Metro berjumlah sekitar 30 (http://www.rta.nsw.gov.au/cgi-bin/index.cgi?fuseaction=motorregistries.all&postcode=) untuk melayani 4 juta warga Sydney (http://www.discoversydney.com.au/sydney/general.html). Petugas yang menegakkan ketertiban lalu lintas di lapangan: polisi. Pengelola jalan tol juga RTA.
Di Jakarta, pengelola jalan adalah Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta (http://dishub.jakarta.go.id). Yang menjaga rambu lalu lintas, lampu merah, dll adalah Dishub. Pengelola SIM, Polda Metro Jaya (Polisi). Penanggung jawab registrasi kendaraan bermotor, polisi juga. Jakarta belum punya speed camera dan traffic light camera. Kantor pelayanan publik untuk urusan SIM dan STNK: satu untuk masing-masing polres, satu kantor Samsat di Kalideres, satu Polda, tambah lima layanan keliling, total 12, untuk melayani 9 juta warga Jakarta (http://www.jakarta.go.id/v70/index.php/en/tentang-jakarta/demografi-jakarta). Petugas penjaga ketertiban lalu lintas: polisi dan DLLAJ. Pengelola jalan tol: swasta/pemda setempat.
Saya tidak tahu berapa panjang jalan yang tersedia di Sydney dan Jakarta, saya tidak akan membahasnya. Semua warga Jakarta tahu ruas jalan yang tersedia di Jakarta tidak imbang dengan jumlah kendaraan yang melintas di atasnya. Yang saya ingin tekankan di sini, bagaimana integrasi pelayananan dan penertiban dilakukan di Sydney, sementara hal yang sama tidak bisa dilakukan di Jakarta.
Seperti yang saya bilang, di Sydney pengelola data kendaraan, pengemudi/pengendara kendaraan bermotor adalah RTA. Pengelola kamera pemantau pelanggaran juga RTA. Integrasi ini memungkinkan pelanggaran lalu lintas bisa ditelusuri sampai ke pemilik mobil, dan ditemukan pelakunya. Contoh: jika saya melanggar lampu merah di suatu traffic light yang memiliki traffic light camera, si kamera akan otomatis merekam gambar mobil saya saat pelanggaran terjadi. Dalam beberapa hari, akan datang surat tilang yang dikirim RTA ke pemilik mobil, yaitu isteri saya. Jika isteri saya bilang bukan dia pelaku pelanggarannya tapi orang lain, dia bisa mengajukan surat keberatan dan menunjuk pelaku sebenarnya, tapi harus disertai tanda tangan saksi yang menyetujui pernyataan itu. Jika tidak tahu pelaku sebenarnya, si pemilik mobil tetap harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan menggunakan mobilnya. Denda harus dibayar, uang disetor ke SDRO (State Debt Recovery Office) untuk kemudian disetor ke state atau dikelola RTA lagi.
Bedanya di Jakarta, banyak sekali kendaraan yang nama pemilik di catatan kepemilikan (BPKB – Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor) berbeda dengan pemilik sebenarnya. Di Sydney, aturan mengharuskan alih registrasi pemilik kendaraan harus dilakukan paling lambat 14 hari sejak transaksi terjadi. Lewat dari itu ada biaya tambahan menunggu (http://www.rta.nsw.gov.au/registration/buyingselling.html). Selain itu, apakah anda pernah mendengar ada surat tilang dikirim polisi ke rumah atas pelanggaran lalu lintas di Indonesia? Saya belum tuh. Rasanya belum ada polisi lalu lintas / petugas DLLAJ Indonesia yang menggunakan kamera dalam bertugas. Jadi, kalau melanggar aturan lalu lintas di Jakarta, orang akan secepatnya kabur karena ada kesempatan besar untuk lolos dari hukuman. Bahkan kalau sudah disemprit polisi pun, begitu polisinya lengah kesempatan lolos masih ada. Di Sydney, kalau sudah tertangkap kamera maka siap-siap bayar denda! Dendanya besar, kebanyakan lebih dari AU$100, cukup untuk membentuk efek jera.
Andai saja Jakarta bisa menerapkan hal yang serupa. Pasang traffic light camera di beberapa titik strategis, integrasi database yang akurat, nilai denda tilang yang cukup besar, lumayan untuk sedikit menertibkan kelakuan pengendara yang sebagian besar nggak sabaran itu. Tapi kalau melihat sistem transportasi di Jakarta, rasanya tidak mungkin. Kenapa? Karena pemilik data dan pengelola layanan transportasi adalah dua entitas yang berbeda. Pemilik data kendaraan bermotor: polisi. Pemilik data SIM: polisi. Pengelola jalanan: pemda setempat / negara / swasta. Kalau pemda DKI pasang kamera, terus ada kendaraan yang tertangkap kamera melanggar lalu lintas, mau diapakan? Periksa silang ke database polisi, yang kemungkinan besar tidak up-to-date dan tidak akurat? Pemilik yang terdaftar bukan pemilik yang sesungguhnya, alamat yang tertera di SIM bukan alamat yang sebenarnya (saya tahu orang yang punya SIM dengan alamat kantor polisi). Buang-buang waktu, dengan tingkat kesalahan yang tinggi. Kalau database-nya terintegrasi mungkin bisa. Tapi mengingat di Indonesia berlaku, “Kalau bisa dibikin susah, ngapain dibikin gampang?”, apalagi kalau disandingkan dengan beberapa oknum polisi itu bisa jadi, “Kalau bisa disuruh bayar, ngapain dikasih gratis?”, lupakan saja ide itu. Polisi akan lebih senang menguasai sendiri akses tangkap dan tilang daripada memberi kesempatan instansi lain menangkap pelanggar lalu lintas.
Oh ya, tentang SIM. Di Jakarta, untuk membuat SIM cukup dengan uang orang bisa mendapatkannya. Tidak perlu bukti apa-apa, walau aturan resminya perlu ini perlu itu. Di Sydney, hahaha, jangan harap. Perlu bukti identitas, bukti alamat, ujian komputer, ujian praktek, dll dsb yang tidak bisa dilewatkan begitu saja dengan menyogok / calo.
Jadi, seharusnya para pengguna lalu lintas itu sejak awal sudah dilayani oleh satu instansi saja. Sejak mereka mencari tahu aturan bagaimana menggunakan lalu lintas (membaca aturan lalu lintas), mendapat izin menggunakan lalu lintas, mendaftarkan kendaraan yang akan digunakan berlalu lintas, itu harusnya dilayani oleh institusi yang sama dengan yang membuat aturan lalu lintas dan mengelola layanan lalu lintas. Polisi seharusnya hanya berfungsi membantu penegakan tertib berlalu lintas, bukannya melayani pendaftaran apa-apa yang berhubungan dengan uang. Selama urusan penerimaan uang itu tidak dijauhkan dari polisi (registrasi kendaraan dan SIM), jangan harap lalu lintas di Jakarta bisa tertib!
Sydney 27/05/2010